I Made Arya Palguna Art

Home | Gallery 1 | Gallery 2 | Gallery 3 | Gallery 4 | Gallery 5 | Gallery 6 | Gallery 7

Gallery 5

Parade Pengawal,150x250cm,mixed media

Parade Pengawal

Minggu, 17 Desember 2000

Anjing... di Pameran Palguna
Oleh M Dwi Marianto


SPANDUK besar merah menyala dengan tulisan putih kata seru "Anjing!!!" dipasang pada muka gedung Bentara Budaya, Yogyakarta, menandai pameran lukisan I Made Arya Palguna (7-14 Desember 2000). Sampul katalognya pun berbunyi "Anjing!!!" dengan foto seekor anjing. Judul-judul karyanya provokatif, misalnya Salah Satu Keluarganya Anjing, Yo.. Q.. Pal.. Q, dan Anjing Art Award. Yang terakhir disebut ini melukiskan perempuan berbaju transparan, tonjolan dan lekukan tubuhnya terbayang, ia merokok seraya memangku seekor anjing lucu, di sudut kanan atas ada tanda art award.
Ide-ide seninya mengenai pengalaman hidup sehari-hari, tidak representasional, melainkan ekspresif, dalam arti ia mengutamakan intensitas pengutaraan pengalaman. Ide-idenya mengugat cara pandang kolektif para pemirsa terhadap binatang anjing. Atraktif dan menarik karya-karyanya. Subjek-subjeknya distilisasi. Visualisasinya spontan. Namun tampak, ide-idenya tidak sempat mengalami perenungan, pengayaan, dan pendalaman yang cukup. Palguna cepat beranjak dari ide yang satu ke ide lain, sehingga terabaikan aspek semantik dan aspek formal dalam proses kreatifnya. Ide tidak terlalu mengemuka, karena tak jelas hubungan antara ide dan representasi; anatomi dan plastisitas dari subject-matternya pun tak mendapat cukup perhatian.
Karya Anjing Pelacak, 2000, melukiskan sekawanan kerbau warna coklat kemerahan dengan dua figur manusia sedang merokok. Di sekeliling mereka ada beberapa ekor anjing berbercak-bercak hitam seperti anjing dalmatian. Tiga di antaranya menyalak, kesannya ribut. Perspektif obyektif guna menggambarkan dekat-jauhnya figur-figur diabaikan. Aspek simbolik dalam merepresentasi figur lebih ditekankan, misalnya ia lukiskan lubang dubur merah menganga pada salah satu kerbau. Seekor yang lain digambarkan dengan pandangan ke depan, lidahnya terjulur ke samping, seolah mengejek pemirsa.
Karya Yo... Q.. Pal... Q, 2000, menghadirkan dua figur manusia dewasa dalam warna coklat kemerahan. Tubuh mereka dinyatakan dengan anatomi yang mengalami stilisasi ekstrim. Sepasang buah dada secara minimal ditutupi bra, tapi talinya terurai. Ada tulisan "Adult" di pojok kiri bidang lukisan. Pada sudut kiri bawah ada sepasang sandal jepit, dan sepasang sepatu, anehnya ada warna merah-putih seperti warna bendera negara. Bidang gambar dipecah-pecah dengan garis-garis horizontal, vertikal, dan diagonal. Ada miripnya dengan karya-karya kubis. Palguna tidak mengelaborasi perwujudan idenya secara lebih jauh, akibatnya dua figur manusia itu hanya nampak sekadar untuk ada, sebab tidak ada sikap atau gerak yang menandakan mereka 'bertegur-sapa'. Dapat dikatakan, kecillah akses bagi pemirsa untuk bisa membongkar anyaman makna yang dimaksudkan Palguna.
Palguna, kelahiran Gianyar, Bali, 1976, adalah pelukis muda usia yang produktif. Ia masih studi di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, tapi telah berkali-kali pameran tunggal, dan ikut dalam berbagai pameran yang di dalam dan luar negeri. Yang mancanegara terkini adalah Pameran Seni Kontemporer Indonesia "To Russia With Art" di Moskwa yang diorganisasi YSRI.
Konsep seninya tak muluk-muluk, kemasan artistiknya pun tak rumit. Porsi pendekatan intuitifnya lebih besar. Bahasa visualnya adalah transformasi celotehan dan ide-ide liar dia yang langsung divisualisasikan. Mekanisme pikir artistiknya sama seperti yang dilakukan para Surrealist: ide-ide yang masuk ke kepala begitu saja dihadirkan. Subject-matter-nya tidak secara linier diramu dalam ruang dan waktu dengan gramatika visual obyektif, sedang suasana yang tercipta absurd, lucu, atau comical.
Fakta sosial signifikan yang berkait dengan pameran ini adalah kenyataan bahwa kini banyak karya dari para perupa yang relatif muda usia lebih diminati oleh banyak kolektor seni, organiser, dan pengelola galeri seni, ketimbang karya para perupa 'senior'. Mungkin ini sejalan dengan kecenderungan dalam budaya populer sebagaimana yang sering muncul melalui sarana media cetak dan elektronik, di mana bermunculan selebritis-selebritis muda dalam berbagai mitos populer. Bahkan ada sejumlah perupa muda usia yang karyanya sudah masuk dalam daftar 'buruan', laku dengan harga tinggi dalam pameran dan lelang, statusnya jadi macam saham atau komoditas. Mekanisme pasar dan budaya populer lah yang cenderung membuka ruang-ruang untuk realita macam ini. Pekerjaan perupa adalah membuat karya sesuai alam mereka, dan kalau hasilnya terjual mahal itu bukan problema mereka.
Yang jadi masalah adalah ketika seseorang tidak lagi berfikir kualitas dan totalitas kreatif setelah karya-karyanya laku keras. Akan runyam kalau kemudian karya-karya dengan degradasi kualitas itu tetap laku sebagai objek komoditas, dan menjadi model bagi perupa-perupa lain. Sebab dalam bursa komoditas orang tak terlalu peduli dengan norma-norma akademis, faktor senioritas, dan intensitas serta elaborativitas pengerjaan karya seni. Yang paling utama adalah faktor apakah karya itu ada dalam permintaan pasar atau tidak.
Kembali ke pameran Palguna, paling tidak ada dua butir permasalahan yang layak kaji. (1) Gaya bahasa Palguna dalam merepresentasi pameran tunggalnya yaitu dengan kata seru yang dalam praktik berbahasa sehari-hari bermakna sumpah-serapah, seakan tidak ada lagi kata-kata lain untuk mewadahi ide yang mau disampaikan. (2) Walau begitu sambutan hangat tetap saja datang dari sejumlah kolektor seni, dan beberapa karyanya telah bertanda bulatan merah.
Realita ini menguatkan asumsi penulis mengenai pola-pola fakta budaya populer dan dunia media yang lebih mengutamakan apa-apa yang baru, segar, trendy, sensasional, lucu, dan menghibur. Muncullah para penyanyi cilik, pembawa acara belia, pakar apa saja yang artikulatif serta tampan atau cantik sebagai selebritis non-artis. Mereka adalah ikon-ikon populer dan sekaligus wahana dari berbagai pencitraan untuk modal-modal besar yang senantiasa perlu dibesarkan.
Sebaliknya, dunia masa lalu, karya para senior, yang berkonotasi mulia, tradisional dan adiluhung, yang mengenai kesalehan penuh kebajikan, hanya laku sebagai selingan atau pelengkap atau sebagai nostalgia dalam "tembang kenangan". Sebabnya adalah imaji-imaji mereka kalah komersial dan 'menjual' dibanding anak-anak muda, bahkan kalah dibanding dalmatian dogs.
* M Dwi Marianto, Pengamat Seni, bekerja di Lembaga Penelitian Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Enter supporting content here